Lantai dan atap bandara,  
menggelantung banyak borgol besi, menjerat leher.

Tanpa pengadilan, tanpa bukti,  
ia dituduh terlibat PKI.  
Lima setengah tahun,  
ia dikubur di balik jeruji.

Tak pernah ia pahami.  
Mengapa ia dipenjara?  
Apakah karena ia sekolah di Rusia?  
Apakah ia adik seorang penulis kritis?

Baca Juga: China Khawatir atas Rencana Perubahan Strategi Nuklir AS

Ketika bebas,  
dunia di luar sama kejam.  
Ia doktor ekonomi,  
lulusan negeri besar,  
namun tak ada pekerjaan,  
tak ada penerimaan.

Lapar ini butuh makanan.  
Tak bisa ditunda.  
Tapi yang ia temui hanya tudingan dan kecaman.

Ia menjadi pemulung,  
berjalan di antara sudut-sudut kota.  
Hanya tumpukan sampah yang ramah padanya.

Baca Juga: Cegah Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Kebun Sawit, Pemkab Mukomuko Usulkan Pembangunan Irigasi di 20 Titik

Ia lihat lagi tangannya.  
Dulu, tangan ini memegang pena,  
kini memegang karung lusuh,  
basah dan busuk.

Tahun 1980,  
Wira bertemu kakaknya,  
seorang penulis terkenal,  
baru keluar dari penjara.

Bahkan kakak kandungnya sendiri,  
tak mengenalinya.  
"Kak, aku ini adikmu.  
Ayahmu juga ayahku."

Baca Juga: Bank Aceh Syariah Menghadirkan Layanan Weekend Banking Selama PON XXI Aceh-Sumut 2024

Penampilannya yang lusuh,  
wajahnya yang telah digerus waktu,  
membuat kakaknya tak menyadari.